Pulau Pejinan

“Ibu…….. ada hantu, dia mengajakku pergi setiap hari”
Tangis Lisa ketakutan di sudut kamarnya setiap hari. Dia baru menempati rumah itu sebulan yang lalu. Rumah yang ia tempati sejak Lisa masih berumur satu hari dari ditemukannya hingga berusia tiga tahun sepuluh bulan harus digusur karena membangun diatas tanah perusahaan asing. Lisa ditemukan di pinggir pantai didalam peti yang masih basah. Dikira anak itu dibuang oleh orang tuanya dan dihanyutkan bersama hempasan gelombang air laut yang pada waktu itu gelombang sangat besar karena bertepatan dengan musim angin yang oleh orang jawa termasuk angin kepitu.
Setelah anak itu dibawa kerumah yang menemukan, banyak orang yang melarang untuk mengasuhnya karena ada tanda hitam di mata kakinya yang menurut cerita rakyat, orang yang mempunyai tanda hitam di mata kakinya adalah keturunan dari Nyai Pajinna yang tinggal di pulau Pahatan yang merupakan manusia keturunan Jin. Sehingga pulau itu dikenal dengan sebutan pulau Pejinan. Akan tetapi Ibu Mirna yang menemukannya tidak menghiraukan cerita itu karena dia percaya kalau menemukan anak pasti rejekinya akan lancar, sehingga dia tetap mengasuhnya seperti mengasuh anaknya sendiri.

Matinya Kaum Idealis

 “Jadi orang jangan sok idealis dong, biar gak nyesal kemudian, baru aja masuk semester lima udah sok-sokan” Ucap Hendra lima tahun yang lalu sesaat sebelum pemilihan presiden fakultas dilaksanakan. Dia bilang seperti itu karena aku mengkampanyekan pemilihan bebas dan demokratis. Tapi mungkin karena hatinya sudah kotor kalau tidak mau dibilang busuk, apa yang aku lakukan dianggap tidak baik. Sampai sekarang, ucapannya yang memojokkanku ditengah-tengah kerumunan mahasiswa yang hendak mencoblos itu, terus terngiang dalam pikiranku Seakan sudah tercatat dengan tinta emas.
Tak ada maksud untuk mengobrak-abrik suasana demokrasi ala mahasiswa di kampusku. Spontan aku menarik tangan Yesi yang membagi-bagi sertifikat kepada mahasiswa yang hendak mencoblos. Dalam hati, aku bermaksud untuk menghentikan praktik yang tidak waras itu. Setelah ditanya tentang tindakan yang mematikan nilai demokrasi itu, dia pun bungkam seribu bahasa dan tidak memberi tahu alasan membagi-bagi sertifikat berlevel internasional itu. Tapi yang jelas, walaupun dia tidak mengaku, aku bisa membaca maksudnya. Karena Yesi termasuk pada daftar nama tim sukses salah satu kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden fakultas. Tiba-tiba Pikiran negatifku langsung terbang kemana-mana. Sehingga menganggapnya menyogok pemilih agar mencoblos jagoannya. Dan itu dibenarkan oleh teman-teman yang kebetulan masih membenci prilaku kayak itu.

Kebijakan yang Tak Pernah Bijak; Sekolah Bertaraf Internasional VS Pendidikan Karakter

Pendidikan merupakan salah satu penentu bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. Karena dengan pendidikanlah manusia bisa mengetahui apa-apa yang harus dilakukan dan apa-apa saja yang harus ditinggalkan. Oleh karena itulah desain pendidikan harus terus diupayakan kearah yang lebih baik, yaitu desain pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa harus tergerus oleh kemunafikan zaman.
Tentunya pendidikan disini tidak hanya terpaku pada pendidikan formal tetapi juga berlaku pada pendidikan non formal dan informal. Sebagaimana tripusat pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara; keluarga, masyarakat dan sekolah adalah pusat pendidikan bagi umat manusia baik secara langsung maupun tidak. Tiga pusat pendidikan itulah yang telah terbukti bisa mencetak perkembangan manusia baik mencetak kearah yang lebih baik ataupun kearah kehancuran moral. Tetapi karena yang menjadi sorotan publik akhir-akhir ini adalah pendidikan formal, maka tulisan ini akan difokuskan pada kebijakan-kebijakan pendidikan formal yang terus dibenahi guna menjawab tantangan global yang dirasa menggelitik hati penulis.

Nilai bukan ukuran kualitas siswa

Dengan menangnya SMPN 1 Tulungagung dalam ujian nasional kemarin (2010), banyak orang yang mulai melihat sekolah-sekolah pinggiran yang ternyata juga tidak kalah kualitasnya dengan  sekolah-sekolah perkotaan, karena Tulungagung telah membuktikan pada public bahwa sekolah pinggiran juga bisa bersaing dengan sekolah perkotaan yang di anggap lebih berkualitas dan lebih mahal dari sekolah pinggiran.
Banyak orang yang telah menulis di berbagai media cetak yang sangat apresiatif terhadap sekolah pinggiran. Mereka memuja-muji pendidikan pinggiran. Namun yang sangat mengganjal dalam hati saya, semua tulisan di berbagai media yang terkait dengan menangnya sekolah pinggiran itu dan mencap bahwa sekolah pinggiran juga bisa bersaing dan kualitasnya juga tak kalah dengan sekolah perkotaan. Mereka masih dipenuhi oleh paradigma positivistic.

Pendidikan Tanpa Koneksi; bulsit!

“Ellu nyuru gue ngejelasin pentingnya pendidikan, sedangkan gue sendiri tidak yakin pendidikan itu penting”
“Waktu gue kuliah, gue pikir pendidikan itu penting, tapi setelah gue keluar kuliah baru ngerti ternyata pendidikan itu tidak penting”

Begitulah cuplikan menarik dari film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Cuplikan itu diambil dari pemeran Samsul yang mempunyai gelar sarjana pendidikan. Dia baru merasakan bahwa pendidikan itu tidak penting dan tidak bermanfaat sama sekali untuk dia bahkan juga untuk orang lain setelah lulus dari kuliahnya. Padahal  dulunya, dia mendewa-dewakan yang namanya pendidikan. Mungkin, ia sudah termakan oleh pemahan kebanyakan orang bahwa dengan pendidikan manusia bisa berguna dan akan mendapatkan penghidupan (pekerjaan) yang layak. Makanya ia susah payah melanjutkan keperguruan tinggi, namun akhirnya penyesalan yang ia dapat.

Televisi dan Masa Depan Anak

Televisi merupakan orang asing yang di terima oleh keluarga tanpa curiga. Padahal ia yang mengajari anak-akan kita membunuh, menipu, memfitnah dan lain sebagainya.
Kalau dilihat dari sejarah berkembangnya industri televisi di indonesia. TV mulai berkembang sejak tahun 1962, ketika indonesia menjadi tuan rumah dalam perhelatan akbar olah raga asia yang di kemas dalam asian games IV  di jakarta. Dengan maksud memberikan layanan terbaik bagi masyarakat indonesia lebih-lebih bagi negara peserta event itu. TVRI merupakan televisi pertama kali yang tayang sejak tanggal 17 agustus 1962 merupakan rangkaian dari perhelatan akbar itu. Pada awal munculnya, TV hanya terfokus pada kepentingan publik. Ia sangat berperan bagi kemajuan bangsa dan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemajuan berfikir masyarakat. Akan tetapi pada tahap selanjutnya media itu menjadi ajang bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang. Tak heran tayangannya untuk beberapa dasawarsa terakhir ini, tidak memperhatikan nilai dan norma yang ada di masyarakat. Karena para pengurus media itu, hanya melihat dan menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tapi walaupun begitu, masih banyak manfaat yang ia bawa jika para pemirsa bisa menyeleksi informasi yang di perolehnya.

Demokrasi Itu Harga Mati

Bukanlah bentuk negaranya yang menyebabkan pemerintahan itu menjadi baik atau menjadi buruk, tetapi system yang oleh Negara tersebut serta kepemimpinan yang adil yang memungkinkan kondisi yang baik itu menjadi tercipta ” (Gus Dur)

Perdebatan tentang kenegaran dan pemerintahan yang sering terjadi didunia ini, khususnya di Indonesia adalah terkait pelaksanaan pemerintahan dan bentuk pemerintahan, yakni sistem demokrasi dan penerapan syariat islam. Hal itu sangat wajar sekali karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan dan mempunyai penduduk muslim terbesar di dunia. Tak heran kalau ada isu-isu tentang penerapan syari’ah dan khilafaf sebagai bentuk negaranya.

Jalan Muhammad Jadi Nabi

Nabi Muhammad merupakan pamungkas dari para nabi yang diutus oleh Allah SWT di muka bumi ini. Walau nabi muhammad SAW terutus paling akhir, tapi sebenarnya nur Muhammad ada sebelum nabi adam. Ini terbukti ketika nabi adam diusir dari surga karena melanggar perintah Allah untuk tidak memakan buah Khuldi. Ketika keluar dari pintu surga, adam berjalan mundur sesampai di depan pintu surga, adam melihat tulisan Muhammad. ini menunjukkan bahwa Muhammad merupakan nabinya para Nabi.