Pulau Pejinan

“Ibu…….. ada hantu, dia mengajakku pergi setiap hari”
Tangis Lisa ketakutan di sudut kamarnya setiap hari. Dia baru menempati rumah itu sebulan yang lalu. Rumah yang ia tempati sejak Lisa masih berumur satu hari dari ditemukannya hingga berusia tiga tahun sepuluh bulan harus digusur karena membangun diatas tanah perusahaan asing. Lisa ditemukan di pinggir pantai didalam peti yang masih basah. Dikira anak itu dibuang oleh orang tuanya dan dihanyutkan bersama hempasan gelombang air laut yang pada waktu itu gelombang sangat besar karena bertepatan dengan musim angin yang oleh orang jawa termasuk angin kepitu.
Setelah anak itu dibawa kerumah yang menemukan, banyak orang yang melarang untuk mengasuhnya karena ada tanda hitam di mata kakinya yang menurut cerita rakyat, orang yang mempunyai tanda hitam di mata kakinya adalah keturunan dari Nyai Pajinna yang tinggal di pulau Pahatan yang merupakan manusia keturunan Jin. Sehingga pulau itu dikenal dengan sebutan pulau Pejinan. Akan tetapi Ibu Mirna yang menemukannya tidak menghiraukan cerita itu karena dia percaya kalau menemukan anak pasti rejekinya akan lancar, sehingga dia tetap mengasuhnya seperti mengasuh anaknya sendiri.

Tak banyak orang yang tahu tentang asal muasal dari pulau yang begitu mengirikan bagi makhluk yang tergolong manusia itu. Karena tak ada buku dan penelitian yang mengungkap sejarahnya, hanya cerita dari mulut kemulut yang sering simpang siur yang berkembang di masyarakat tentang pulau itu. Sebenarnya banyak orang yang berniat untuk menulis tentang itu, tetapi akhirnya semua penelitian yang sudah direncanakan kandas ditengah jalan. Dengan alasan yang sangat tidak masuk akal, mereka harus mengurungkan niatnya untuk meneliti pulau itu. Banyak peneliti pintar yang datang dari jauh bahkan profesor Amerika pun pernah datang, tetapi masih juga gagal dengan alasan arsip penelitiannya ketinggalan. Padahal kata asistennya dua hari sebelum berangkat, mereka sudah memasukkan semua berkas-berkas dan alat penelitiannya ke ransel.
Tak hanya mereka yang merasa kehilangan arsip untuk meneliti disana, tetapi hampir semua peneliti yang jumlahnya tidak sedikit yang pernah berniat dan datang untuk mengetahui lebih lanjut tentang situasi di pulau pahatan itu juga merasa kehilangan berbagai macam peralatan penelitiannya. Orang yang ada di tetangga pulaunya saja ketika berniat untuk pindah rumah ke pulau itu, juga ada sering merasakan kehilangan sesuatu yang pada akhirnya mereka juga tidak jadi pindah. Padahal sebenarnya menurut cerita rakyat, sebenarnya peralatan mereka lengkap semua, pikirannya saja yang merasakan kehilangan. Bahkan ketika ada dari mereka yang terus memaksakan diri berangkat menuju pulau itu walaupun merasakan kehilangan sesuatu, katanya perahu yang ditumpangi tidak pernah sampai-sampai. Ya akhirnya mereka juga kembali.
Warga yang dekat dengan penyeberangan menuju pulau Jin itu karena sudah banyak tahu cerita tentang pulau yang lebarnya tidak lebih dari satu kilometer persegi itu, sering melarang orang-orang yang ingin berkunjung ke pulau itu, dengan alasan yang bermacam-macam, mulai karena ada cerita rakyat yang menceritakan tentang orang yang hilang seketika setelah menginjakkan kakinya di bintu Pejinan sampai orang yang tidak sampai-sampai ke pulau itu. Pasalnya disana ada satu kawasan yang sama sekali tidak bisa dilewati oleh manusia dan anehnya lagi kawasan itu katanya berpindah-pindah. Dan kalau ada orang melewati kawasan itu pasti akan menghilang dan akan menjadi kawakan dari Jin dan Setan. Hanya orang tertentu saja yang bisa melewati dan tidak akan menghilang, yaitu orang yang berdarah Jin dan Setan.
Bukan saja golongan dari Jin atau Setan, tetapi manusia yang masih punya hubungan dengan Jin juga bisa tinggal nyaman disana. Sungguh sangat sedikit orang yang seperti itu karena biasanya manusia yang masih berkeluarga dengan Jin disana adalah orang keturunan Nyai Pajinna yang sejak nenek moyangnya tinggal di pulau pahatan itu.
Dalam cerita rakyat, Nyai Pajinna pernah tinggal di pulau Manias, yaitu tetangga pulau dari pulau Pejinan itu. Dia tidak mempunyai suami dari sebangsa manusia tetapi dari Jin. Dia bukannya tidak laku buat laki-laki berbangsa manusia tetapi ketika di masa gadisnya menjadi rebutan lelaki. Namun tak ada yang berani menikahinya karena selain dia tidak mempunyai silsilah keluarga yang jelas juga karena sering bilang bahwasanya dia tidak akan menikah dengan manusia.
“Kalian sukanya memainkan perempuan, kamu tidak tahu gimana sakitnya hati ketika diolok-olok, dicaci dan dimaki, saya memang tidak sesempurna kalian, karena saya tidak tahu dimana orang tua dan dari mana asal saya. Tapi mbok yo jangan jadikan seperti boneka yang tidak punya telinga dan mata asli. Saya manusia seperti kalian, hanya saja saya tidak mengetahui asal-asal saya. Saya bersumpah gak akan menikah dengan kalian atau sebangsa kalian.”
Sejak berkata seperti itulah, lelaki yang sering godain dan mempermainkannya tidak pernah datang. Sebenarnya lelaki yang sering menggodanya katanya sich menyukainya, akan tetapi karena minder duluan akhirnya mereka balik mengejek dan mengolok-ngoloknya. Dia merasa tentram hidup sendrian dan tanpa teman bermain, karena dari dulu hidupnya dalam kungkungan ejekan teman-temannya.
Hari demi hari, dia semakin bingung harus kemana. Sampai suatu malam. Dia pergi ke pantai dan disitulah dia bertemu dengan banyak Jin tetapi berwujud manusia, mereka saling berkenalan lalu mengajaknya ke pulau seberang yakni pulau Pahatan. Tanpa berpikir yang tidak-tidak dia mau dibawa mereka ke pulau yang kata mereka jauh lebih ramah terhadap disbanding pulau Manias itu. Sesampai disana seakan tempat itu tidak asing bagi Pajinna muda. Hingga akhirnya dia bertemu dengan perempuan yang begitu perhatian dan bercerita tentang dia.
“Nak, kamu ada dimana. Sudah lebih sepuluh tahun kamu meninggalkan Ibu disini sendirian. Saya kangen sama kamu nak, tapi saya tidak tahu mau mencari kamu kemana. Tak kirain kamu sudah meninggal” 
“Saya ada di pulau seberang sana Bu, tapi dari mana ibu tahu kalau saya anak ibu”
“Tanda hitam di mata kaki kamu Nak, keluarga kita dari dulu punya tanda hitam di mata kakinya. Saya ya juga punya tanda seperti itu, nich kalau tidak percaya” sambil menunjukkan tanda hitam di mata kakinya. Yang akhirnya ibu dan Pajinna saling berpelukan sambil menangis.
Sang ibu terus bercerita tentang keadaan dirinya setelah ditinggalkannya. Dan disela-sela cerita tentang situasi dan kondisi pulau yang sangat sepi itu, Pajinna bertanya kenapa dirinya bisa berada di pulau seberang sendirian.
“Ibu, kenapa sih saya kok bisa berada disana tanpa ibu? Saya dibuang ya Bu?”
“Nak, saya sayang sama kamu, jadi gak mungkin saya membuang kamu. Terakhir kamu menghilang dari rumah ini memang agak aneh dan tidak masuk akal. Ketika kamu tidur pulas diatas batu besar di bawah pohon sabu didepan itu lho, terus karena kamu tidur, saya pergi ke dapur untuk membuatkan kamu makanan. Namun setelah saya membawakan sepiring bubur sabu yang saya ambil dari pohon itu, ternyata kamu sudah tiada. Dan diatas batu itu tersisa bercak darah. Saya kira kamu dimakan binatang buas. Tapi anehnya selama saya berada dipulau ini saya tidak pernah mendengar ada gaung dari binatang buas, sehingga tak sampai berfikir untuk mengejar binatang itu, tiba-tiba saya jatuh pingsan.”
Tak banyak protes untuk menganggap sebagai ibunya, Karena sudah banyak bukti yang menunjukkan ia adalah ibunya. Makin hari membuat mereka makin akrab, semua kenangan tentang diri Pajinna di pulau Manias, nyaris terlupakan semuanya hanya kata-kata sumpahnya bahwa dia tidak akan menikah dengan bangsa manusia yang masih terngiang dalam saraf otaknya. Namun kekhawatiran untuk tidak menikah dengan sebangsa manusia terus menghantuinya. Akan tetapi dia mendapat pencerahan dari wasiat ibunya sebelum meninggal bahwa sebenarnya bapak Pajinna bukanllah dari bangsa manusia tetapi berbangsa Jin.
Mulai saat itulah, kekhawatirannya hilang dan sering berharap agar bisa secepatnya bertemu dengan jodohnya. Suatu malam dalam mimpinya dia bepergian keatas bukit di pulau itu dan disanalah ia bertemu dengan seorang laki-laki tampan, lalu mengajakknya kenalan yang kemudian mengajak Pajinna main ke taman rumahnya yang begitu indah. Tak banyak cerita Pajinna waktu itu diajak menikah di hadapan orang tuanya. Tanpa berfikir panjang, Pajinna menganggukkan kepalanya pertanda mengamini permintaan lelaki yang bernama Sarmajin itu.
“alah, jadi tadi saya hanya bermimpi, tak kirain udah beneran. Tapi tadi saya tidak sempat bertanya apakah dia dari golongan manusia atau tidak. Dia sangat tampan sekali. Tetapi kalau dia tidak dari kalangan manusia saya tidak akan mau menikah dengannya. Karena saya masih ingat sumpah yang diucapkan kepada manusia biadap di pulau Manias itu”
Pajinna terbangun dan tertekun memikirkan lelaki dalam mimpinya. Dia terus bertanya-tanya kepada dirinya sendiri siapa gerangan lelaki tampan dalam mimpinya tadi? Tak lama kemudian Pajinna tertidur pulas lagi berbantalkan sapu lidih di kamarnya dengan harapan semoga lelaki tampan itu bisa hadir lagi dalam mimpinya.
Tak ayal, Pajinna bermimpi lagi lelaki yang tadi juga datang dalam mimpinya. Tak tahu apakah dari sebab berbantal sapu lidi sehingga ia bisa bermimpi lagi atau karena dia sebelum tidur memikirkannya sehingga pikiran itu pindah kealam bawah sadarnya sehingga ketika tidur alam bawah sadarnya memutarkan peristiwa lanjutan dari mimpi lelaki tampan itu. Tetapi menurut cerita rakyat kuno, kalau bermimpi, terus mimpinya terputus kalau tidur lagi dengan berbantalkan sapu lidi akan bermimpi lagi dan mimpi itu merupakan sambungan dari mimpi sebelumnya.
Dalam mimpinya yang kedua, Sarmajin tidak mau menyebut dari bangsa apa. Tetapi kalau mau tahu lebih lanjut dia menyuruhnya datang kesebuah bukit di pulau itu yang ada pohon sabunya yang separuh daunnya menguning.
Jarang atau bahkan nyaris tidak ada pohon yang seperti yang diceritakan dalam mimpinya itu. Tetapi yang membuatnya tegar, dalam pikirannya masih terpatri bahwa segala sesuatu yang diusahakan dengan sungguh-sungguh pasti akan membuahkan hasil yang maksimal. Lagi pula, pulau yang ia tempati hanya tak lebih dari satu kilometer persegi. Jadi tidak terlalu ribet mencarinya tinggal mendatangi bukit-bukit dan mencari pohon sabu yang separuh daunnya menguning selesai.
Numun tak segampang yang ia pikirkan, pohon yang dicarinya tak kunjung ditemukan, meskipun dia berkali-kali mengelilingi tiga bukit yang berdempetan itu. Hingga akhirnya rasa lelah masih membumbuhi Pajinna. Karena tidak kuat kembali ke rumahnya. Akhirnya dia memutuskan untuk bermalam di warung kaki bukit.
Ditengah malam di kaki bukit, ia terbangun karena banyak semut yang menggitnya. Kemudian di berniat pulau kerumahnya karena pada waktu bulan purnama jadi tidak terlalu gelap untuk menyusuri jalan-jalan menuju rumahnya. Tiga kali dia melangkahkan kakinya meninggalkan bukit itu, tapi sebelum melanjutkan kelangkah berikutnya dia menoleh kearah bukit. Tiba-tiba pohon yang dicarinya ada puncak bukit yang yang separuh daunnya menguning seperti keemasan.
Tak berpikir itu asli atau tidak, dia langsung melangkahkan kakinya kencang-kencang menuju pohon sabu itu. Ternyata lelaki dalam mimpinya itu sudah menunggunya lengkap dengan seluruh keluarganya. Dia sempat kebingungan kenapa dia disambut dengan begitu meriahnya. Tetapi Sarmajin lelaki tampan dalam mimpinya itu dan kini Pajinna bisa bertemu langsung dengannya, menjelaskan tentang sambutannya yang begitu mewah dan meriah. Sambutan itu ternyata akan dilangsungkan dengan akad pernikahan antara Pajinna dan Sarmajin.
Lagi-lagi tak banyak protes, Pajinna tersenyum pertanda menerimahnya dengan senang hati. Sehingga dia dibawa ke salah satu kamar untuk didandani dan dirias yang kemudian mereka melaksanakan akad nikah dihadapan keluarga Sarmajin.
Selang dua bulan dari pernikahan mereka, Pajinna hamil. Dan mereka mulai mereka-reka tentang nama yang akan mereka kasih kepada anaknya nanti. Namun tak sampai Pajinna melahirkan, ketika janinnya masih berumur tujuh bulanan, dia kena penyakit To’on yang mengakibatkannya meninggal dalam keadaan mengandung anaknya. Karena suaminya tidak mau anak yang ada didalam kandungan istrinya juga ikut mati, akhirnya Sarmajin mengambil janin itu dan meletakkan kedalam Peti ajaib yang ia miliki. Peti itu bisa dibuat segala hal sesuai dengan yang dikendaki pemiliknya, sehingga ia bilang kepada peti untuk menjadi rahim yang bisa memberikan kehdiupan pada janin itu.
Setiap permintaan yang ditujukan pada peti itu pasti ada syaratnya, saat itu, peti mengeluarkan syarat yang harus dipenuhi oleh Sarmajin kalau mau janin itu selamat. Persyaratan itu, hanya menyuruh meletakkan peti itu didekat pantai. Sesampai di tepi pantai, peti bilang bahwasanya dia tidak akan mengeluarkan janin itu di pulau Pejinan dan sebelum sampai seratus tahun dia tidak akan mengeluarkannya.
Tanpa kekhawatiran sedikitpun di hati Sarmajin, dia meninggalkan peti itu di tepi pantai yang sesekali peti itu dikenai butiran air yang dihempas oleh gelombang air laut yang menyibak karang di sekelilingnya. Sesampai pada musim angin, gelombang air laut terus semakin meninggi dan menggulung-gulung menggunung yang pada akhirnya menyeret peti itu terbawa arus gelombang pasang. Entah kemana perginya peti itu yang jelas dia akan membawa janin itu keluar dari pulau Pejinan. Dan sebelum sampai seratus tahun dia tidak akan mendarat kedaratan pulau.
Seratus tahun telah terlewati, sudah saatnya peti ajaib itu menuju kedaratan untuk kemudian mengeluarkan janin itu. Ternyata pulau Manias yang menjadi tujuan peti yang berisi janin itu dan dipinggir pantai Manias peti itu membuka diri tutup diatasnya. Tak lama kemudian ada seorang ibu setengah baya melihat peti itu dan mengambilnya bayi yang ada didalamnya. Rasa waswas dan ragu terbesit dalam benaknya tapi karena berbuah dari rasa kasihannya terhadap bayi itu akhirnya dibawa kerumahnya dan diberi nama Lisa.

0 Response to "Pulau Pejinan"

Posting Komentar