Dengan menangnya SMPN 1 Tulungagung dalam ujian nasional kemarin (2010), banyak orang yang mulai melihat sekolah-sekolah pinggiran yang ternyata juga tidak kalah kualitasnya dengan sekolah-sekolah perkotaan, karena Tulungagung telah membuktikan pada public bahwa sekolah pinggiran juga bisa bersaing dengan sekolah perkotaan yang di anggap lebih berkualitas dan lebih mahal dari sekolah pinggiran.
Banyak orang yang telah menulis di berbagai media cetak yang sangat apresiatif terhadap sekolah pinggiran. Mereka memuja-muji pendidikan pinggiran. Namun yang sangat mengganjal dalam hati saya, semua tulisan di berbagai media yang terkait dengan menangnya sekolah pinggiran itu dan mencap bahwa sekolah pinggiran juga bisa bersaing dan kualitasnya juga tak kalah dengan sekolah perkotaan. Mereka masih dipenuhi oleh paradigma positivistic.
Mungkin inilah yang membuat saya bertanya-tanya mengapa semua orang dalam menilai kualitas pendidikan hanya melihat dengan nilai yang di peroleh dalam ujian nasional saja? Padahal nilai bisa di manipulasi sedemikian rupa!
Kesuksesan dan kualitas peserta didik tidak bisa hanya di lihat dari nilai yang mereka peroleh, tetapi kita harus bisa menilai keseluruhan proses yang terjadi di sebuah lingkungan sekolah. Kesuksesan bukanlah sekedar meraih nilai tinggi tetapi merupakan keseluruhan dari proses belajar-mengajar dari mulai peserta didik masuk pertama kali sampai ia bisa menjadi pribadi yang tangguh dengan segala keterampilannya yang ia punya. Apa gunanya sebuah nilai jika ia tidak memiliki keterampilan apapun!
Sekolah laksana bengkel yang siap memperbaiki manusia. Tentunya, sekolah harus bisa merubah keadaan siswa. Keberhasilan sekolah bisa dilihat dari out putnya, jika kualitas out putnya sama dengan in put, maka proses di sekolah itu tidak berhasil.
Kita jangan terus-menerus lari dari berbagai mitos tentang keterbelakangan daerah pinggiran dari pada perkotaan, yang telah lama hinggap dalam kehidupan manusia, karena mitos ada kalanya juga membuktikan kebenarannya. Mitos yang melekat pada diri kita terkait dengan kaum pinggiran yang selalu ada di belakang perkotaan, tidak ada salahnya jika kita ambil sebagai dasar penilaian kualitas pendidikan di daerah pinggiran dan pedesaan. Utamanya dalam mengkaji kesuksesan ujian nasional yang sukses diraih sekolah pinggiran dengan nilai tertinggi diraih SMPN 1 Tulungagung itu. Kita tidak boleh mengatakan kualitas peserta didik pinggiran lebih baik dari perkotaan hanya karena satu kesuksesan yang di perolehnya. Tidak ada gunanya kita memuja-muji sekolah pinggiran dengan kualitas tinggi jika kenyataannya tidak demikian. Jika ingin memiliki kualitas yang sebenarnya, maka kita harus bisa jujur mengatakan keadaan yang sebenrnya terjadi.
Menyangsikan Perolehan Nilai
Walupun saya juga berasal dari daerah pinggiran, saya tidak suka menilai kualitas pendidikan hanya dengan nilai yang di peroleh ketika ujian nasional. Karena setahu saya, proses ujian nasional di daerah pinggiran sangat berbeda dengan perkotaan. Letak perbedaannya adalah pengawasan di sekolah perkotaan lebih ketat ketimbang di pinggiran, hal itu terjadi karena sekolah-sekolah diperkotaan satu dengan yang lainnya berkompetisi sehingga peluang dari guru sekolah untuk membantu muridnya sangat sempit. Tetapi di daerah pinggiran pengawasannya tidak seketat dari sekolah perkotaan. Hal itu terjadi karena di pinggiran tidak ada kompetisi atau kompetisinya minim antar sekolah, sehingga proses lobi-melobi antara pihak sekolah dan pengawas sangat dimunkinkan. Ketika hal itu terjadi, peluang guru untuk membantu muridnya sangat tidak mustakhil untuk dilakukan. Dan jangan heran serta tidak usah dikagumi perolehan nilai tinggi yang diraih oleh sekolah pinggiran. Bagaimana munkin sekolah pinggiran lebih berkualitas dari perkotaan sedangkan proses kesehariannya dalam sekolah itu tidak jelas. Absensi kedatangan gurunya tidak sesuai dengan ketetapan, mereka sering dating telat dan pulang lebih awal. Kita tidak perlu mengilak hal itu. Jangankan fasilitas yang modern yang dimiliki oleh sekolah pinggiran, administrasinya saja terkadang juga tidak jelas. sehingga muridnya terbengkalai. Apakah itu yang menjadi jaminan kualitas bagi pendidikan? Saya kira setuju semua jika murid sering di beri pelajaran tidak tepat waktu maka kualitas anak akan semakin menurun. Bisakah kita menyamakan sekolah pinggiran yang sering pulang lebih awal dari jadwal yang telah ditentekan secara nasional dengan sekolah yang bertaraf internasional dan yang berstatus full day school, yang nota bene pada ujian nasional kemaren nilainya lebih rendah dari sekolah pinggiran.
Seharusnya, para penulis bisa membaca konteks sehingga dalam memutuskan kualitas peserta didik tidak hanya terfokus pada teks. Dan juga kita perlu menyangsikan perolehan nilai tinggi karena ada berbagai hal seperti yang telah saya sebutkan di atas.
Jangan Menutup-Nutupi
Agar kualitas pendidikan yang sebenarnya di raih oleh lembaga pendidikan, kita tidak perlu menutup-nutupi kondisi pendidikan itu sendiri. Karena hanya akan menjadikan besar kepala dan mengagumi sesuatu hal yang tidak layak dikagumi. kalau itu terjadi, maka pelaku pendidikan hanya akan mencari popularitas dan prestasi sementara. Prestasi sementara tidak akan menjamin bagi kemakmuran bangsa. Padahal pendidikan yang menurut Schult merupakan investasi sumber daya manusia sepanjang masa. Kalau dalam berinvestasi kita tidak sungguh-sungguh, dalam artian hanya ingin memperoleh tujuan sementara maka apa yang kita investasikan itu (SDM) akan hancur dalam pergumulan masa. Sama halnya dengan berinvestasi di sector riil, seperti pertahanan, pertanian dan lain sebagainya. Kalau ingin usahanya membuahkan hasil yang sempurna maka kita harus bisa meletakkan modal pada tempat yang tepat. Sehingga kondisi apapun bisa
Akhirnya para guru akan melupakan tugas pokoknya sebagai pendidik dan nilai-nilai yang terkandung dalam undang-undang 1945 yaitu, “mencardaskan kehidupan bangsa” akan semakin sulit untuk direalisasikan. Jadi, ketika keadaaanya tidak berkualitas dari lembaga pendidikan maka tidak perlu kita mengatakan berkualitas dengan hanya menunjukkan bukti nilai yang di perolehnya. Dengan demikian para pelaku pendidikan tidak akan besar kepala dan kita juga tidak salah mengagumi sesuatu hal yang tidak perlu kita kagumi.
0 Response to "Nilai bukan ukuran kualitas siswa"
Posting Komentar